DNK TV

Muda, Kreatif, Produktif

UU No. 7 Tahun 2021 Digugat, MK Soroti Dampak Kenaikan PPN

Sidang lanjutan uji materil di Ruang Sidang Pleno Lt. 2 Gedung Mahkama Konstitusi (DNK TV/ Raja Yuza Gusti Muhammad)

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan uji materil terkait kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sidang berlangsung di Ruang Sidang Pleno Lantai 2, Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (9/7). Dalam sidang ini, dua ahli dihadirkan oleh pemohon untuk memberikan pandangan terhadap fleksibilitas pemerintah dalam menetapkan tarif PPN, yang dianggap berisiko menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.

Ahli kebijakan fiskal, Media Wahyudi Askar, menyoroti bahwa ruang pengambilan keputusan tarif oleh pemerintah terlalu luas tanpa mekanisme pengawasan legislatif yang memadai. “Perubahan satu persen pun bisa berdampak besar ke masyarakat miskin. Idealnya, penetapan tarif harus melalui indikator teknokratis dan transparansi bersama DPR,” jelasnya. Ia membandingkan praktik di negara-negara seperti Inggris dan Vietnam, di mana pembahasan terkait tarif PPN melibatkan parlemen secara aktif, bahkan untuk perubahan kecil sekalipun.

Sementara itu, ahli ekonomi, Bhima Yudhistira Adinugraha mengkritisi klaim pemerintah mengenai potensi kehilangan penerimaan negara sebesar Rp70 triliun jika tarif PPN 12% tidak diterapkan. “PPN tidak bekerja secara linear. Kalau harga naik, konsumsi turun. Jadi, tidak otomatis 1% kenaikan menghasilkan tambahan penerimaan,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa secara psikologis, kenaikan tarif yang terlihat kecil dari 11% ke 12% sebenarnya menunjukkan pertumbuhan beban pajak sebesar 9%, yang cukup besar bagi masyarakat.

Kekhawatiran masyarakat turut disampaikan saksi pemohon, Rusin, pedagang warung kopi di Cibitung, Bekasi. Ia mengaku harga barang langsung melonjak setelah kabar kenaikan PPN menjadi 12 persen, sehingga ia pun terpaksa menaikkan harga jual. Sebagai pelaku UMKM, Rusin merasa tak pernah dilibatkan dalam penyusunan kebijakan dan hanya menjadi objek pungutan.

Hakim Mahkamah Konstitusi turut menyoroti kejelasan indikator penetapan tarif PPN dan dampaknya terhadap kebutuhan pokok serta layanan publik. “Pasal 7 menyebut batas 5% sampai 15%, tapi indikatornya sangat umum. Bagaimana publik tahu kapan tarif bisa naik atau turun?” ujar salah satu hakim. Mereka juga menekankan pentingnya keadilan fiskal bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Sidang ini menjadi penting karena memperlihatkan ketegangan antara fleksibilitas kebijakan fiskal dan kebutuhan akan transparansi serta partisipasi publik. Seperti disampaikan Pak Rusin, “Kami harap Mahkamah mendengarkan keresahan kami, rakyat kecil. Pajak itu dari rakyat, ya seharusnya kembali juga ke rakyat.”

Reporter; Salwa Kamila

Juru Kamera; Raja Yuza Gusti Muhammad 

Koordinator Liputan; Ayu Fauziah

Redaktur; Erlina Ayu Lestari, Wulan Ramadhina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *